BAHTSUL MASAIL NU ADALAH TELADAN DALAM MENJAWAB MASALAH KEUMATAN
Oleh : KH Ahmad Ishomuddin
Para kyai
di lingkungan Nahdlatul Ulama tentu tidak asing dengan Bahtsul Masail.
Masyarakat awam juga sudah banyak yang mendengarnya. Bahtsul Masail adalah
frase dalam Bahasa Arab dalam bentuk susunan idlafah, yang terdiri dari kata
"bahts" yang berarti pembahasan atau pencarian sebagai mudlaf (kata
yang disandarkan) dan kata "al-masail" yang berarti masalah-masalah
sebagai mudlaf ilaihi (kata yang disandari). Frase ini secara singkat dalam
Bahasa Indonesia dapat dimaknai sebagai pembahasan masalah-masalah. Sedangkan
secara lebih lengkap frase "Bahtsul Masail (Ø¨ØØ« المسائل) berasal dari
kalimat "al-bahtsu 'an ajwibati al-masail ( Ø§Ù„Ø¨ØØ« عن أجوبة المسائل )"
yang artinya adalah pencarian, penelitian dan pembahasan tentang jawaban dari
berbagai masalah.
Bahtsul Masail di lingkungan organisasi NU
berasal dari tradisi diskusi atau musyawarah untuk mencari jawaban dalam rangka
menyelesaikan persoalan yang ditanyakan oleh anggota masyarakat kepada para
kyai. Tradisi para kyai pesantren ini otomatis juga diikuti dan dipraktekkan
oleh para santri di banyak pondok pesantren khas Indonesia.
Bahtsul Masail ini sudah sejak lama
diorganisir oleh para pengurus NU dengan membentuk Lembaga Bahtsul Masail (LBM)
yang sebelumnya diberi nama Lajnah Bahtsul Masail. LBM ini semacam lembaga
fatwa keagamaan yang bersifat kolektif, sehingga pertanyaan atau masalah yang
diajukan kepada LBM dijawab secara kolektif atau bersama-sama oleh para ahlinya
yang umumnya terdiri dari para kyai dan para spesialis ilmu yang terkait dengan
permasalahan yang dibahas.
Pertanyaan dalam Bahtsul Masail selalu
diupayakan jawabannya secara bersama-sama karena untuk lebih mendekati titik
kebenaran bila dibandingkan dengan menjawabnya secara personal atau individual,
sebagaimana kini banyak dilakukan oleh penceramah zaman now yang menjawab semua
pertanyaan selalu secara spontan dan tergesa-gesa.
Prinsip kehati-hatian dalam memberikan jawaban
dalam setiap proses Bahtsul Masail telah menjadi prinsip yang tidak dapat
ditawar-tawar dan telah sangat lama menjadi tradisi yang berurat berakar di
kalangan para kyai NU. Mereka berada dalam puncak kesadaran bahwa dirinya
memiliki keterbatasan dalam ilmu, kecerdasan, dan keterbatasan dalam
mengeksplorasi referensi ilmiah berupa kitab-kitab kuning (al-kutub al-shafra'
al-qadimah). Karena ilmu-ilmu itu dimiliki oleh setiap orang, sedangkan tidak
ada seorangpun yang menguasai semua ilmu dan mampu secara individual menjawab
semua pertanyaan.
Permasalahan yang dibahas dalam Bahtsul Masail
sangatlah beragam, namun secara global dapat disebut sebagai al-masail
al-ijtihadiyyah (masalah-masalah yang bersifat ijtihadiyah, yakni untuk mencari
solusinya memerlukan kesungguhan yang paling maksimal). Tetapi untuk memudahkan
PBNU telah mengklasifikasi permasalahan yang didiskusikan itu terdiri dari
beberapa kategori antara lain Bahtsul Masail al-Waqi'iyyah (pembahasan
masalah-masalah aktual yang telah atau sedang terjadi), Bahtsul Masail
al-Maudlu'iyyah (pembahasan masalah-masalah yang bersifat tematik), Bahtsul
Masail al-Qanuniyyah (pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan
perundang-undangan).
Lembaga Bahtsul Masail di lingkungan
organisasi NU ada di setiap tingkatan organisasi, mulai dari tingkat nasional
Pengurus Besar (PBNU), propinsi Pengurus Wilayah (PWNU), kota/kabupaten
Pengurus Cabang (PCNU) hingga tingkat kecamatan Majelis Wakil Cabang (MWCNU).
No comments