Ngaji Sejarah Islam : Khalifah Al-Mustakfi Yang Kehilangan Matanya Dan Kekuasaannya Dikendalikan Bani Buwaihi
Oleh : Prof. Nadirsyah Hosen
Kita
memasuki periode saat kekhilafahan Dinasti Abbasiyah hanya menjadi simbol
belaka. Ibu Kota Baghdad dan jalannya pemerintahan pada masa Khalifah
al-Mustakfi telah dikuasai oleh bani Buwaihiyah. Dalam bahasa Buya Hamka,
“inilah kekuasaan paling akhir dari Daulat Abbasiyah.”
Buya
Hamka benar. Sebelumnya kita sudah bahas bagaimana para jenderal militer Turki
menjadikan khalifah hanya sebagai boneka saja, setelah itu gantian khilafah
dikuasai bani Buwaihi, kemudian nanti Abbasiyah dikuasai Bani Saljuk, baru
kemudian dihancurkan oleh Mongol.
Kita
memasuki periode gonjang-ganjing kekuasaan Abbasiyah menjelang kehancurannya.
Kekuasaan silih berganti, namun tetap banyak kisah menarik dan pelajaran yang
bisa kita petik dari periode ini. Kita simak, yuk!
Al-Mustakfi
adalah Khalifah ke-22 Dinasti Abbasiyah. Nama lengkapnya adalah Abul Qasim
Abdullah bin al-Muktafi bin al-Mu’tadhid. Bapak dan kakeknya masing-masing
Khalifah Abbasiyah ke-17 dan ke-16. Saat menjadi Khalifah, dia berusia sekitar
41 tahun. Gelarnya adalah al-Mustakfi Billah.
Al-Mustakfi
menjadi khalifah setelah al-Muttaqi dicopot paksa dari jabatannya oleh Tuzun
yang menempati posisi Amir al-Umara. Bahkan Tuzun ini juga yang mencongkel
kedua mata Khalifah al-Muttaqi (Baca: Khalifah al-Muttaqi: Sosok yang Taat
Ibadah tapi-Tidak Cakap Memimpin Negara). Maka, Tuzun pulalah yang memilih dan
mengangkat al-Mustakfi menjadi khalifah menggantikan al-Muttaqi pada 26 Agustus
944 Masehi.
Tuzun
memilh al-Mustakfi setelah mendengar usulan dari Abul Abbas at-Tamimi ar-Razi,
seperti dicatat oleh Ibn al-Atsir dalam kitabnya, al-Kamil fit Tarikh. Abul
Abbas mendengar saran dari seorang wanita yang mengingatkan akan adanya anak
mendiang Khalifah al-Muktafi, yang memuji kecerdasan, kesantunan, dan kealimannya.
Al-Mustakfi dipercaya akan membawa kepada kesejahteraan dan kejayaan. Tuzun
mempercayai info ini dan kemudian memilih al-Mustakfi.
Sekali
lagi, tidak ada keterlibatan rakyat baik langsung maupun melalui perwakilan
ahlul halli wal aqdi dalam memilih dan mengangkat seorang khalifah. Rakyat
hanya dalam posisi menerima siapa pun yang diangkat sebagai khalifah dan
dipaksa memberikan ba’iatnya. Kalau menolak mendukung, copotlah kepala mereka
dari tubuhnya.
Dalam
periode sebelumnya kalau khalifah yang terpilih seorang yang alim, saleh, dan
baik, maka sejahteralah negara. Namun, kali ini, sistem sudah sedemikian
bobrok, kondisi negara sudah karut-marut, maka secerdas apa pun, dan sesaleh
serta sebaik apa pun, khalifah sudah terjeblos dalam sistem yang kacau-balau.
Ibn
Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah melukiskan sosok al-Mustakfi dengan
kalimat: “Dia pria yang tampan, tubuhnya bagus dan rambutnya putih, hidungnya
kemerahan.” Sayangnya, Al-Mustakfi
mewarisi kekuasaan yang sudah karut-marut. Dia hanya bisa bergantung penuh
kepada Tuzun, Amir al-Umara, yang mengangkatnya dan kemudian menjalankan roda
pemerintahan sehari-hari.
Tuzun
menghadapi serbuan dari pasukan Ahmad bin Buwaihi. Namun, Tuzun berhasil
menjaga Baghdad dan mengalahkan Ahmad. Tuzun wafat pada Agustus 945. Kemudian
digantikan oleh sekretarisnya, Abu Ja’far bin Syirzad, yang menurut Imam
Suyuthi, sangat ambisius. Dia mengumpulkan pasukan sendiri. Sekali lagi,
khalifah bergantung penuh pada Amir al-Umara yang kini dijabat Abu Ja’far,
termasuk menghalau pasukan Ahmad bin Buawaihi.
Namun,
musuh terus berupaya menyerang. Kali ini mereka memblokade Ibu Kota Baghdad.
Suplai terhadap makanan pokok menjadi terhambat. Rakyat menderita. Tidak ada
makanan yang bisa mereka peroleh. Rakyat bertahan hidup dengan memakan apa
saja, dari mulai rumput, sisa sampah, sampai anjing dan kucing liar. Harga roti
dikabarkan enam kali lebih mahal. Bahkan sejumlah perempuan terpaksa menjadi
kanibal memakan daging dan tubuh mayat. Kondisi darurat!
Ini
sebuah fakta yang menyedihkan yang terjadi di masa khilafah. Jadi, ya
biasa-biasa saja, dalam rentang waktu yang panjang ada kalanya kekkhilafahan
mendatangkan kemakmuran seperti di masa Harun ar-Rasyid, tapi ada juga periode
ketika kemelaratan dan kemiskinan melanda kekhilafahan.
Jadi,
jangan lagi dikesankan hidup di masa khilafah zaman old itu semuanya makmur dan
senang serta seolah negara tidak punya masalah. Masih ngeyel mau bilang
khilafah adalah satu-satunya solusi bagi umat Islam? Mau makan kucing, anjing,
dan mayat? Amit-amit, deh.
Abu
Bakr Muhammad bin Yahya as-Suli dalam kitabnya, Akhbar ar-Radhi wa al-Muttaqi
menceritakan karut-marut kondisi Baghdad telah membuat banyak penduduk Baghdad
sejak akhir masa Khalifah al-Muttaqi dan berlanjut pada masa al-Mustakfi
bermigrasi ke kota-kota lain, seperti Hulwan, Khurasan, dan Wasit, juga ke
Syiria dan Mesir.
Kondisi
ini memaksa Abu Ja’far Syirzad memutuskan untuk meminta bantuan kepada Bani
Hamdan, seperti pernah dilakukan sebelumnya oleh Khalifah al-Muttaqi. Koalisi
Baghdad dengan Bani Hamdan melawan Buwaihi selama kurang lebih tiga bulan.
Namun, akhirnya Buwaihi yang menang. Bani Hamdan dan Abu Ja’far kabur ke Ahwaz.
Ahmad
bin Buwaihi memasuki Ibu Kota Baghdad dengan jumawa. Pasukannya pun sempat
menjarah ibu kota dan membakar rumah penduduk. Khalifah al-Mustakfi terpaksa
membuat perjanjian. Khalifah tetap berkuasa, di mana legasi historis Abbasiyah
tetap dipertahankan, tetapi kekuasaan secara de facto dijalankan oleh Dinasti
Buwaihiyah.
Ahmad
bin Buwaihi diberi gelar Mu’iz ad-Dawlah. Saudara tuanya yang bernama Ali
diberi gelar Imad ad-Dawlah (tiang negara) dan adiknya yang bungsu Hasan diberi
gelar Rukn ad-Dawlah (pilar negara). Gelar mereka dicantumkan pada mata uang
negara. Khalifah al-Mustakfi Billah pun menambahi gelar dirinya sendiri dengan
Imam al-Haq, yang menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, juga
dicantumkan dalam mata uang negara.
Salah
satu unsur megalomania para penguasa adalah dengan memberi berbagai gelar
kepada dirinya sendiri dan koalisinya. Dengan cara ini mereka merasa rakyat
akan semakin tunduk, dan mereka sendiri akan semakin percaya diri.
Ini
berbeda dengan Gus Dur yang dengan guyon memberi “gelar” bahwa Presiden pertama
RI itu gila wanita. Presiden kedua gila harta, sedangkan Presiden ketiga
benar-benar gila. Ketika Gus Dur jadi Presiden terpaksa dia menambahi sendiri
joke-nya dengan mengatakan Presiden RI keempat itu bikin orang lain jadi gila.
Atau
joke yang beredar di kalangan netizen bahwa Presiden pertama itu Pemimpin Besar
Revolusi, Presiden kedua Jenderal besar. Yang ketiga, Guru Besar. Yang keempat,
ulama besar. Yang kelima dan keenam, badannya besar. Sedangkan yang sekarang?
Entah apanya yang besar. Buat yang tidak suka dengannya, akan bilang besar
ngibulnya. Buat yang suka, akan bilang besar prestasinya.
Intinya
adalah, joke semacam ini hal biasa di dalam demokrasi. Kalau di masa khilafah
zaman old, siap-siap kepala Anda copot yah bikin joke semacam ini.
Kembali
ke Baghdad. Mu’iz ad-Dawlah menjadi Amir al-Umara yang menguasai Baghdad. Harus
saya sebutkan pula bahwa Buwaihi ini memeluk mazhab Syi’ah. Ini artinya
kekhilafahan Abbasiyah yang Sunni, pada periode ini dijalankan oleh Amir
al-Umara yang Syi’ah. Menarik, bukan?
Pengaruh
Mu’iz ad-Dawlah semakin besar. Bahkan setoran ke istana dibatasi hanya lima
ribu dirham per hari. Khalifah secara finasial bergantung pada belas kasihan
Mu’iz ad-Dawlah. Beredar kabar yang sampai ke telinga Mu’iz ad-Dawlah bahwa
Khalifah al-Mustakfi berusaha menyingkirkannya. Mu’iz ad-Dawlah memutuskan
bertindak lebih cepat.
Al-Mustakfi
ditangkap dan diseret ke rumah Mu’iz ad-Dawlah. Istana dijarah hingga tak
tersisa barang berharga sedikit pun. Setibanya al-Mustakfi di rumah Mu’iz
ad-Dawlah, peristiwa tragis yang menimpa dua khalifah, yaitu al-Qahir dan
al-Muttaqi, terulang kembali. Kedua mata al-Mustakfi dicongkel matanya. Lalu,
jabatan khalifah dicopot dari tangannya oleh Mu’iz ad-Dawlah.
Maka,
inilah nasib lima Khalifah Abbasiyah terakhir yang sudah kita bahas:
Khalifah
ke-18 al-Muqtadir (dipenggal kepalanya)
Khalifah
ke-19 Al-Qahir (dicongkel kedua matanya dan menjadi pengemis)
Khalifah
ke-20 ar-Radhi (wafat karena sakit)
Khalifah
ke-21 al-Muttaqi (dicongkel kedua matanya)
Khalifah
ke-22 al-Mustakfi (dicongkel kedua matanya)
Mengapa
ketiga khalifah di atas (al-Qahir, al-Muttaqi dan al-Mustakfi) diturunkan dari
jabatannya dengan dicongkel kedua matanya? Salah satu syarat menjadi khalifah
menurut para ulama seperti Imam al-Mawardi dan al-Ghazali itu adalah sehat panca
indera. Kita tahu khalifah diangkat lewat proses ba’iat.
Sepanjang
sejarah khalifah tidak punya rentang masa jabatan, alias berkuasa seumur hidup,
cara menurunkannya adalah dengan memaksa mengundurkan diri atau membunuh
khalifah itu.
Nah,
dalam periode yang kita bahas ini muncul metode baru menurunkan khalifah, yaitu
dengan mencongkel kedua matanya sehingga mereka tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagai seorang khalifah. Setidaknya itu yang terjadi dengan ketiga khalifah di
atas. Tragis, sungguh tragis.
Buya
Hamka pun dengan getir menulis dalam bukunya, Sejarah Umat Islam, “tanda
khalifah masih ada, namanya masih disebut di dalam khutbah Jum’at, tapi
kekuasaannya tidak ada lagi.”
Bagaimana
kisah selanjutnya? Siapa yang akan menggantikan al-Mustakfi? Apakah Bani
Buwaihi masih terus menancapkan kuku kekuasaanya mengatur jalannya roda
kekhilafahan? Insya Allah akan tersaji dalam lanjutan ngaji sejarah politik
Islam berikutnya.
No comments